utama | opini | liputan utama | liputan khusus | profil | intermezo | aktual | lintasan | surat pembaca |
||
Liputan Khusus |
Akhir-akhir
ini, konflik berlatar belakang SARA banyak mencuat ditanah air. Hampir
setiap hari media massa memberitakan berbagai peristiwa yang bila
ditelusuri secara cermat berkaitan dengan perbedaan persepsi antar umat
beragama. Kasus Ambon, Aceh, Ketapang dan banyak lagi kasus lain yang
belum terpecahkan penyelesaiannya hingga kini.
Bertitik tolak dari berbagai keja-dian tersebut di atas, Lentera 99 bekerja sama dengan Universitas Muhamma-diyah Prof. DR. Hamka dan Kompas menggelar Semiloka Nasional "Membin-cang RUU Kerukunan Umat Beragama" di gedung Jakarta Media Center (JMC), 27 Mei 2000.Pada kesempatan itu, Ahli Pene liti Utama Bidang Kehidupan Beragama Departemen Agama, DR. H. Ichtijanto SA, SH, APU, mengatakan bahwa pada dasar nya semua agama mengajarkan ke-baikan serta menganjurkan kerukunan. Namun harus disadari pula bahwa disam-ping ajaran tentang kerukunan, dalam tiap agama ada ajaran yang mengakui bahwa ajaran agamanya sajalah yang paling be-nar. Ajaran seperti itu ditambah dengan pemahaman yang kaku, ekslusif dari se-bagian penganut menjadikan bahan ke-mungkinan adanya konflik dalam masya-rakat majemuk. Hal senada diungkapkan juga oleh Ketua Komisi Kerukunan Hidup Beragama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zaidan Djaubary. Ia mengecam si-kap masyarakat tertentu yang dalam kehi-dupan beragamanya cenderung memaksa orang lain untuk pindah agama. "Jangan murtadkan orang yang sudah beragama," ujarnya. Menurutnya sikap seperti itu be-rarti tidak menghargai kebebasan beraga-ma yang akibatnya bisa menjadi titik sing-gung yang memanaskan kerukunan hidup beragama dan potensial menjadi pemicu konflik. Lain halnya dengan I. Ismartono SJ, wakil dari Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan KWI yang jus-tru mengutip kesimpulan dari cendekia-wan Muslim Prof. Dr. Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa berbagai keru-suhan, seperti kerusuhan Ambon memang ada unsur agama, tetapi itu hanya faktor tambahan. Faktor sebenarnya adalah le-dakan perasaan masyarakat Indonesia yang tersumbat selama 32 tahun. Ismarto-no juga mengutip berita yang di muat di harian Re-publika, 29 Maret 2000 tentang gejolak di Maluku dengan judul yang mencolok, "Akibat Islam dianak emaskan." Ketua Umum Majelis Tinggi A-gama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Chandra Setiawan mengenai hal itu me-nyimpulkan bahwa secara dominan se-mua masalah yang dihadapi bangsa Indo-nesia tidak diawali oleh perbedaan agama. Inti permasalahan yang lebih mendalam menurutnya adalah kegagalan pendidik-an, terutama pendidikan agama, budi pe-kerti, etika dan lain-lain, sehingga masing-masing individu tidak memiliki karakter yang baik. Masyara-kat menjadi semakin individualistis dan tidak mempunyai rasa hormat pada orang lain. Hingga kini perdebatan seputar masalah tersebut belum menemukan titik temu, dan MUI memberikan tawaran agar dibentuk suatu Undang-Undang Keru-kunan Umat Beragama untuk dijadikan landasan konstitusi bagi para pemeluk a-gama dalam menjalankan kewajibannya. Tawaran tersebut mendapat respon yang bervariasi dari berbagai penganut agama. Pro-kontra tentang RUU Kerukunan U-mat Beragama banyak mewarnai gagasan tersebut. Dari kalangan Cendekiawan Islam, Hussein Umar menyatakan bahwa dalam tata kehidupan nasional dewasa ini yang menjadi signifikan untuk dikedepan-kan salah satunya adalah masalah keru-kunan umat beragama. Sehingga dengan tegas ia mengatakan perlunya dibuat UU Kerukunan Umat Beragama. Hal senada di katakan juga oleh Zaidan. Namun ia juga setuju UU tersebut tidak di buat asalkan semua pemeluk a-gama telah menjalankan ajaran agamanya dengan benar. "Kalau umat beragama itu semua menjalankan agama secara tulus iklas, jujur dan baik sesuai agamanya, ya semuanya damailah di muka bumi ini," te-gasnya. Tapi keinginannya itu belum ter-wujud hingga saat ini. Kerusuhan berlatar belakang SA RA masih sering terjadi yang menandakan bahwa masyarakat be-lum sepenuhnya mengamalkan ajaran a-gamanya. Bertitik to-lak dari kenyataan seperti itu, ia menegas-kan perlunya UU Kerukunan umat ber-agama sebagai pe-gangan yang sifatnya tidak mengekang kebebasan umat ber-agama. "Sedangkan sudah ada Undang-Undang atau pe-raturan masih terjadi pe-langgaran kok, apalagi nggak ada," ujar-nya beralasan. Demikian juga dengan Ichtijanto yang mengatakan bahwa di Indonesia su-dah saatnya disusun Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (Legal of Re-ligious Harmony). Menurut-nya sesuai dengan dinamika agama dan perkembang-annya, dalam masyarakat Indonesia pasti ada sekelompok penganut agama (agama apapun) yang pemahaman ajaran agama-nya masih kurang, kaku dan keras sehing-ga menjadi faktor penggangu harmoni hi-dup beragama. Dalam hal ini negara dan pemerintah bekerja sama dengan organi-sasi keagamaan berkewajiban membim-bing masyarakat supaya sadar akan nilai/ajaran serta ke-majemukan dan jika perlu dicip-takan aturan hukum yang bersanksi. Pernyataan di atas berbeda dengan apa yang diutarakan oleh warta-wan senior majalah TEMPO yang juga Pe-mimpin Redaksi majalah Hindu Raditya, Putu Setia. Berbeda juga dengan Sekre-taris Umum MATAKIN Budi Santoso Tanuwibowo, Ketua Umum MATAKIN Chandra Setiawan, serta dari KWI Ismartono. Putu dalam pernyataannya mengatakan bahwa bila pemerintah me-ngatur kehidupan ber-agama pada tingkat UU, maka urusannya akan sangat rumit dan perlu banyak pertemuan untuk me-nyamakan persepsi. Bagian mana yang perlu di atur UU, apa sanksinya dan lem-baga mana yang nanti-nya punya otoritas untuk menentukan salah tidaknya pelang-garan yang dilakukan salah satu agama. Bila timbul suatu konflik pada tingkat pe-langgaran UU tersebut, bagaimana peme-rintah menciptakan suatu sistim keadilan yang benar-benar netral dan bisa diterima oleh semua agama, terutama oleh umat beragama yang dituduh bersalah. Menu-rutnya agama bersifat sangat pribadi (subjektif), sedangkan UU mutlak memer-lukan objektifitas. Selan-jutnya ia juga me-ngatakan bahwa jangan sampai UU ter-sebut menjadi tirani batu yang bersifat legal bagi kelompok agama tertentu terha-dap agama lainnya. Ia justru memperta-nyakan apakah dengan adanya batasan yang dibuat dalam UU itu segala permasalahan yang ada antar umat beragama akan bisa terselesaikan?. Me-nurutnya tidak semudah itu. Dan yang lebih sukar lagi adalah bagaimana menga-tur umat beragama dalam satu batas yang disepakati bersama, karena perbedaan ca-ra pandang atau cara "melakoni jalan ke-benaran" itu. Ia menambahkan bahwa ja-lan kebenaran dari berbagai pemeluk aga-ma itu ada rujukannya yaitu Kitab Suci masing-masing agama yang merupakan wahyu Tuhan. "Tidak ada Kitab Suci yang bisa di ubah atau diedit, saya belum pernah dengar. Jadi agama tidak sama de-ngan perkumpulan semisal Partai Politik yang anggaran dasarnya bisa diganti seti-ap konggres," ujarnya. Bahkan lebih da-lam ia berujar bahwa agamalah yang seha-rusnya mengatur kehidupan masyarakat termasuk pemerintahannya, bukan seba-liknya pemerintah yang mengatur agama. Meski demikian ia tetap menyatakan perlu-nya pemerintah ikut mengurusi agama da-lam batas-batas tertentu. "Kalau me-nyangkut urusan ke dalam, menyangkut ajaran, ritual janganlah pemerintah terlalu campur tangan. Biarkan itu wewenang lem-baga atau majelis agama sendiri yang me-ngaturnya," tegasnya. Sedangkan tugas pemerintah dalam hal ini adalah mengatur hal-hal di luar teknis di atas. Budi Santoso Tanuwibowo ber-komentar mengenai permasalahan tersebut dengan melihat lagi ke masa lalu, di mana segala upaya untuk membangun kerukun-an umat beragama malah akhirnya menim-bulkan ketidak rukunan, ekslusivitas, pengkotakan dan menambah rasa curiga antar sesama. Misalnya slogan "tri keru-kunan" bentukan pemerintah Orde Baru yang isinya meliputi : kerukunan interumat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar umat beragama de-ngan pemerintah. Menurutnya slogan ter-sebut tidak efektif meskipun digembar-gemborkan secara gencar. Karena nya-tanya dari banyak para analis berkomentar bahwa kerusuhan yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh faktor perbedaan agama. Seandainya UU Kerukunan Umat Beragama tersebut direalisasikan, ia me-lemparkan contoh kasus yang penyelesai-annya pasti akan sulit. Misalnya seseo-rang yang beragama X terlibat kasus per-data dengan orang lain yang beragama Y, sekaligus terlibat kasus pidana dengan o-rang lain lagi yang beragama Z. Hukum Perdata atau Hukum Kerukunan Umat Ber-agama yang akan digunakan untuk menye-lesaikan kasus tersebut. Berkaitan dengan permasalahan tersebut ia menyatakan bahwa untuk menyelesaikan kasus seperti itu cukup diatur dengan piranti Hukum Perdata dan Pidana saja. "Apakah piranti hukum yang sangat standar dan universal tersebut perlu ditambahi lagi dengan produk khusus yang berbau agama?" ujarnya setengah bertanya. Pernyataan tersebut berbeda de-ngan Zaidan Djaubary yang mengatakan bahwa Hukum Perdata atau Pidana bersifat umum, sedangkan untuk menjaga keru-kunan hidup beragama diperlukan UU khu-sus yang mengatur masalah tersebut. Se-hingga nantinya UU khusus tersebut secara hukum akan lebih tegas dibanding UU sipil (KUHP). "Jadi membakar rumah Tuhan mestinya lebih berat dari pada mem-bakar toko," tegasnya mencontohkan vo-nis yang berbeda bila UU tersebut disetu-jui. Selain itu ia juga mengatakan bahwa UU itu tidak bertujuan menguntungkan sa lah satu agama tertentu apalagi mengurusi permasalahan intern agama. Ia cenderung melihat UU itu sebagai upaya bersama menciptakan suatu tatanan hidup beraga-ma yang lebih baik dengan niat yang baik pula. Chandra Setiawan tidak sependa-pat dengan Zaidan. Ia menilai bahwa pe-nyelesaian konflik dewasa ini tidak dapat diselesaikan melalui teknologi baru atau-pun peraturan-peraturan pemerintah. Ia menilai bahwa kasus tersebut berkaitan de-ngan hak asasi manusia yang berasal dari tingkat yang lebih tinggi (Illahi) ketimbang hukum yang dikeluarkan oleh penguasa duniawi. Oleh sebab itu berbagai pera-turan yang mengatur hidup manusia tidak boleh bertentangan dengan ‘hak’ setiap manusia. Hak asasi manusia tidak perlu dan tidak bisa dicampur adukkan dengan hukum. Prinsip dari asal-usul ‘hak’ membe-rikan ketegasan bahwa hak asasi lebih dulu ada sebelum kekuasaan itu muncul. Hak asasi bukan hadiah dari penguasa, melain-kan konsekuensi kodrati dari manusia. Jadi hukum menurutnya bukan sumber dari hak asasi. Karena kebebasan beragama meru-pakan hak asasi yang paling mendasar, maka tidak perlu di atur dengan hukum. Malah ia mempertanyakan jaminannya, a-pakah UU yang akan dibuat bisa memper-kuat atau memperkukuh hak asasi manusia. Sementara Ismartono berpenda-pat bahwa istilah "Undang-Undang Keru-kunan" merupakan istilah yang contradic-tio in terminis (berlawanan dengan makna yang dimaksudkan oleh istilah itu). Maksudnya adalah bahwa UU berlaku un-tuk semua anggota masyarakat dan di-berlakukan sama untuk semua. UU Ke-rukunan Umat Beragama berarti ditujukan hanya untuk orang yang beragama saja. Sedangkan menurutnya, beragama atau tidak merupakan masalah pribadi yang menyangkut hak asasi seseorang. Dengan demikian orang yang tidak beragama se-bagai pemenuhan hak asasinya tidak akan terkena oleh UU tersebut. Dan ia meng-anggap hal itu sebagai tidak adil. Yang terpenting menurutnya adalah justru dita-riknya campur tangan penguasa yang me-miliki cara berpikir gaya adu domba pada kehidupan beragama. Dilanjutkan bahwa apabila pemerintah atau lembaga-lembaga yang menghargai nilai dan harkat manusia mau membuat tindakan yang berarti, maka pemerintah harus mengusahakan agar ke-bebasan beragama semakin dijamin dan membiarkan agama itu diurus oleh pe-meluknya masing-masing. Sehingga yang diperlukan adalah sebuah UU yang men-jamin kebebasan beragama, termasuk ber-pindah agama atau tidak beragama. Selain itu ia juga menyatakan bahwa UU yang dibentuk dengan sebuah pengandaian yang direkayasa, seperti SARA, hanya akan memperteguh pengandaian itu dan seperti telah menjadi jelas selama ini bah0wa hasilnya hanyalah pertikaian atau bahkan pembunuhan. Sebuah UU hanya berarti bila disusun demi terwujudnya keadilan. Selain itu ia juga menyarankan bahwa apabila pemerintah akan berbuat sesuatu bagi kaum beragama, maka hendaknya menguatkan komunitas-komunitas agama agar semakin mampu untuk mewujudkan nilai-nilai luhur agamanya dengan mulai mengikis habis praktek-praktek tidak manusiawi dan tidak berbudaya dalam agama itu. Ini dapat terjadi bila masing-masing komunitas beragama dapat memiliki rumusan ajaran yang baru, artinya menanggapi perkembangan jaman, memiliki kepemimpinan yang berwibawa, memiliki alat kontrol yang berdaya guna dan budaya komunikasi terbuka dengan siapa saja di luar kelompoknya sendiri
|
[ ke-atas ]