utama | opini | liputan utama | liputan khusus | profil | intermezo | aktual | lintasan | surat pembaca

Opini

"Yohanes" pengen sekolah

Tentunya setiap orang punya ingatan dan kenangan manis atau pahit tentang segala sesuatu yang menjadi pengalaman pertamanya saat masuk ke suatu lingkungan baru. Dalam negara Republik Indonesia tersayang ini, menurut aturan yang sesungguhnya seorang warga negara baru diperbolehkan masuk lingkungan pendidikan dasar saat ia berusia 7 tahun.

Biasanya seorang anak yang akan menginjak sekolah dasar akan bersemangat saat kerabat dekatnya entah paman, bibi, kakek, nenek,dan yang lainnya, menanyakan hal tersebut. Dan kemungkinan kegembiraan itu juga dikarenakan ada sepatu baru dan seragam merah putih yang masih bau toko, sekalipun belinya dipasar kagetan.Atau semangat itu juga muncul karena bisa menyamai kakak atau temannya yang sudah lebih duluan masuk sekolah. Kebanyakan anak-anak yang baru menjadi siswa sekolah dasar, pada hari pertama akan diantar orang tua mereka, tante mereka, opa mereka oma mereka oom mereka bahkan pembantu mereka (bagi anak-anak dari kalangan tertentu). Atau kalau sudah punya teman akrab dilingkungannya mereka akan berjalan bersama ke lingkungan baru itu, yaitu gedung sekolahnya. Namun bagaimana dengan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua atau teman satu lingkungannya yang bisa mendampinginya untuk masuk dilingkungan baru itu?

'Yohanes' adalah salah seorang anak seperti yang digambarkan terakhir yaitu seorang anak yang mau memasuki sekolah dengan latar belakang tidak memiliki kerabat yang mau mengantar. Bahkan kerabat-kerabatnya itu bisa dibilang tidak ada. 'Yohanes' lahir setelah oom dan kak 'Venni'-nya menghilang sebelum mengenal bangku sekolah, begitu sejarah keluarga yang ia ketahui. Dari lingkungan asal 'Yohanes,' ada juga anak-anak sebayanya mengalami hal yang sama dengan yang dialami oom dan kak 'Venni'-nya. Sedangkan kerabat lain dari lingkungan 'Yohanes,' yang termasuk kalangan yang berkecukupan namun enggan untuk sekolah, kini juga menghilang dan entah kemana mereka sekarang. Sebut saja 'Broer Genta,' 'Tante Tabita,' 'Suz Talenta,' 'Mang Nafiri' dan kerabat yang lainnya. Padahal bagi 'Yohanes,' mereka-mereka itu juga punya peranan membantu 'Yohanes' untuk bertahan dalam kehidupannya sebagai anak yang baik.

Sejak kecil 'Yohanes' selalu mengikuti keinginan yang datang dari dalam dirinya pada masa pertumbuhannya. Sebagai anak kecil, sikap egonya memang tampak sangat besar. Banyak sekali pihak yang melihat si 'Yohanes' ini sebagai anak yang tidak dapat dimengerti bila mendengar keluhan tentang lingkungannya. Bagi beberapa pihak, sikap 'Yohanes' ini dianggap sebagai sikap anak yang senang memecahbelah, tidak bisa diajak kompromi dan yang paling parah tidak mau tutup mulut kalau melihat sesuatu yang janggal dalam lingkungannya. Selalu berteriak, selalu meneriaki, dan meronta saat mau dipegang.

Saat berusia empat tahun 'Yohanes' menderita sakit keras dan saat itu lingkungan tidak berminat untuk memulihkannya, padahal saat itu bisa dikatakan 'Yohanes' kecil tidak pernah macam-macam. Kemasa bodohan lingkungan terhadapnya membuatnya sadar bahwa dirinya tidak terlalu dibutuhkan, entah mungkin karena terlalu menghamburkan uang, bila harus menghidupinya atau mungkin hidup akan lebih nyaman bila tanpa ada dirinya. Tapi keinginannya untuk tetap hadir ditengah-tengah lingkungannya yang seolah tidak memperdulikannya itu, sangat kuat, dan seperti keharusan baginya, mungkin yang pada akhirnya, 'Yohanes' harus mengerahkan tenaganya sendiri untuk menjadi sembuh dan bisa hadir ditengah-tengah lingkungannya. Hati dan mentalnya menguatkan kenyakinannya untuk berserah kepada Tuhan Yesus yang sanggup menghidupinya.

Dan seperti yang sudah-sudah, kesembuhan itu belum membuat kerabatnya peduli pada 'Yohanes' kecil ini. 'Yohanes' pada usia 4 tahun memunculkan perilaku yang membuat bebarapa pihak menoleh padanya. Terlebih saat ia menjerit sampai membuat orang-orang tua memanggil dan menawarkan kebaikan. Saat dipanggil 'Yohanes' seolah sedang dideteksi untuk didapati kelemahannya. Untung tim pendeteksi itu masih manusia, akhirnya yang terjadi adalah, mereka menawarkan diri sebagai pengayom yang bertujuan supaya 'Yohanes' memiliki rasa bahwa ia sudah ada yang memperhatikannya.

Dasar 'Yohanes' cinta kebebasan, kebaikan pihak itu diterima dengan polos. 'Yohanes' mengangguk saat kebaikan itu ditawarkan namun perilaku dan sepak terjangnya tidak berubah seperti yang diharapkan. Kepolosan 'Yohanes' ini kemudian dibiarkan sebagai anak kecil yang punya fungsi sebagai pengontrol lingkungannya. Dan 'Yohanes' pun memperkenalkan lingkungannya kepada banyak pihak sehingga lingkungannya lebih dikenal dan memiliki cap sebagai lingkungan yang memiliki seorang anak yang kritis. Setelah proses penawaran itu tadi, gerak gerik Yohanes dalam pertumbuhannya makin diminati lingkungannya. Entah para Tim pendeteksi. Dari mulai mencari makan sendiri sampai dikasih uang jajan sama orang-orang yang kian menyanginya, hingga pada akhirnya Yohanes punya keinginan baru, "...mau sekolah...!" Katanya.

"Cuma ........ yang ngantel siapa? Kalo nyebelang jalan gimana? Kalo dikejal-kejal anjing gimana? telus......telus kalo.....ada yang culik 'Yohanes' gimana?"

Begitu pikiran 'Yohanes' saat keinginannya untuk sekolah hampir terpenuhi dan harinya kian mendekat. Baik yang menyayanginya ataupun yang masih tetap menolaknya tidak bisa mengantarkannya ke sekolah. Selain kesibukan, mereka-mereka khan juga punya keinginan yang sama besar dengan 'Yohanes.' Jadi jelasnya tidak ada yang bisa mengantar 'Yohanes.' Tapi mungkin karena pengalamannya yang terbiasa dengan swadaya, hal tersebut tidak mengurungkan niat 'Yohanes' untuk terus menapaki hari-hari yang kian mendekati hari dimana ia harus masuk sekolah.

"ah biyalin, ‘kan iyoh yang punya Tuhan Yesus pasti iyoh dikasih kekuatan kaya’ waktu iyoh sakit ... waktu iyoh sakit juga 'nggak ada temen ..."

"Good luck Yohanes!!!!

God Bless Us."

Redaksi

 

[ ke-atas ]