utama | opini | liputan utama | liputan khusus | profil | intermezo | aktual | lintasan | surat pembaca |
Liputan Utama |
Pdt.
Andar Maitimoe, STh : "Akan di ambil jalur hukum bila masalah
penjualan aset gereja tidak ditindak lanjuti" "Prosedur mekanisme yang melalui persidangan istimewa itulah yang harus ditaati oleh semua pihak secara organisasi," ulas Hideki. Penatua yang ikut terlibat dalam pembuatan buku biru ini juga mengakui bahwa hasil perelevansian Tata Gereja pada persidangan istimewa tersebut dalam penjelmaan penyelesainnya sesudah persidangan istimewa menimbulkan pemahaman yang berbeda. "Hingga pada akhirnya, pada ending produknya ada versi Majelis Sinode dan non Majelis Sinode," akunya.
Munculnya buku ungu versi Perpastu ini diawali saat dirasa adanya ketidak jujuran Majelis Sinode ke XVI dalam menuangkan hasil pandangannya. Tetapi meski ada dua versi buku Tata Gereja, Pdt. Andar Maitimoe, STh yang diwawancarai Warnes disela-sela acara itu mengatakan hanya satu Tata Gereja GPIB. "Cuma, ada ketidak transparanan dari Majelis Sinode XVI" ungkap Pendeta yang juga anggota PERPASTU. Ketidak transparanan tersebut menurutnya adalah dari hasil persidangan yang tidak dicantumkan secara lengkap oleh Majelis Sinode. "Justru yang tidak ditampilkan yang sangat penting diketahui oleh semua jemaat," kata Andar menandaskan. Hal yang sangat penting itu menurutnya adalah hasil keputusan investigasi Panitia VII, tim khusus yang dibentuk untuk mempelajari dan membuat usulan supaya ditetapkan sebagai kebijakan dalam Tata Gereja. Dan hasil-hasil yang di dapat itu berupa kebijakan-kebijakan berkenaan dengan aset-aset GPIB yang bermasalah. Buku ungu itu sendiri hadir saat konsep asli hasil Persidangan Sinode XVI diserahkan oleh Sekretaris Umum Majelis Sinode XVI, Pdt. Junus Beeh, STh kepada PERPASTU. Jadi pada dasarnya dua buku tersebut sama, hanya saja buku ungu mencantumkan hasil persidangan yang tidak dicantumkan di buku biru termasuk hasil-hasil yang didapat oleh Panitia VII. Namun demikian,
Hideki, Penatua yang turut dalam penyusunan Tata Gereja menanggapi hal
tersebut. Beberapa konsep hasil investigasi Panitia VII, salah satunya menyatakan supaya Majelis Sinode yang telibat langsung dalam penyalahgunaan aset Gereja harus mengganti kerugian atas tindakannya. "Kalau tidak ditindak lanjuti, akan diambil prosedur hukum" kata Andar. Bila hal ini dicantumkan dalam buku biru, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa para Majelis Sinode XVI yang terlibat akan terperangkap dengan keputusan tersebut. Hideki mengungkapkan bahwa dalam buku Tata Gereja biru krisis kepekaan dan kepedulian gereja terhadap pemanfaatan harta milik gereja sudah terakomodasi. Kalau mau diperiksa lagi menurut Hideki sebenarnya sudah tersusun proses yang menjaga keadaan aset-aset GPIB. "Harus ditempuh dulu, katakanlah dalam tata gereja disebutkan bahwa mulai dengan umpamanya kontrak manajemen, baru kemudian sewa-pakai sewa beli baru apa yang dikenal dengan tukar guling," kata Hideki berusaha menjelaskan. "Kalau memang ini pada akhirnya sudah tak bisa, baru bisa di jual" katanya lebih lanjut yang dalam hal ini menurutnya harus dimasukan ke dalam rencana induk untuk disetujui oleh Persidangan Sinode sebelum dijual. Rumitnya perbedaan tersebut menunjukan adanya pengelompokan dalam tubuh Majelis Sinode, namun demikian, hal tersebut memang tidak menganggu proses pelayanan yang dalam hal ini para pendeta yang melayani jemaat, dimana mereka ditempatkan. Hanya mungkin dalam menjalankan pelayanannya, acuan yang digunakan berlainan. Pendeta Jemaat GPIB Petrus, Pendeta Mailowa,STh mengaku belum pernah membaca Tata Gereja versi PERPASTU, dan secara tegas dalam melaksanakan tugas pelayanan ia tetap mengacu pada Tata Gereja biru. "Saya tetap berpegang pada apa yang dikeluarkan oleh lembaga resmi, terlepas dari ada yang tidak mengakui,"begitu tegasnya. Hal ini mengungkapkan dirinya sebagai pribadi yang menghormati pimpinan yang telah di tetapkan bersama. Memang pada kenyataannya keberadaan buku biru itu, lebih condong pada pemikiran gereja sebagai organisasi birokratis dan mengedepankan peranan jabatan, yang pada akhirnya meninggalkan sistem bergereja presbiterial sinodal. Demikian bunyi acuan Semiloka tanggal 5 Juni 2000 di GPIB Effatha. Sementara itu, Hideki lebih menekankan pernyataan di atas pada interpretasi hal tersebut. "Secara murni harus disadari bahwa GPIB menganut Presbiterial Sinodal dimana peranan pejabat adalah mereka yang dipercayakan oleh gereja untuk menyelenggarakan panggilan dan pengutusan," demikian Hideki membeberkan. Dalam hal ini menurutnya ada peranan Kristus melalui para pejabat yang dipanggil untuk menyelenggarakannya. Pendeta Lazarus Purwanto yang mengetengahkan keberadaan Tata Gereja GPIB sebagai tata jabatan menguatkan perhatian Pendeta Andar tentang peranan tata gereja buku biru. "Terjadi penggumpalan kekuasaan oleh majelis sinode " katanya menyibak keberadaan tata gereja GPIB. "Dan Jemaat sebagai onderdilnya," tambahnya. "Namun hal ini menurut mekanisme yang ada, GPIB tidak individual. Kepemimpinan gereja terjadi saat para Pendeta, Penatua dan Diaken bersidang," jelas Hideki. "Ada sidang Majelis Jemaat, ada rapat kerja Sinodal, tiap tahun ada sidang Majelis sinode, ada persidangan Sinode tiap jemaat," ujar Hideki menambahkan. Mekanisme yang ada untuk mencapai persidangan gereja ternyata sangat dipermasalahkan baik dari segi lahir atau pun dari arahan ke depannya. Memang permasalahan yang hadir dalam setiap organisasi gereja adalah untuk pengembangan dan pertumbuhan gereja. Mengingat cukup tuanya GPIB sebagai gereja di negeri tercinta ini, tampaknya semangat pengembangan yang ada dalam dirinya lebih lamban dibanding gereja-gereja baru yang masih dibawah payung Calvinist. Belum lagi yang diluar Calvinist. Kualitas pemahamannya melebihi kualitas yang dimiliki jemaat kebanyakan. Dan disatu sisi, pihak yang mengetahui justru tidak menggunakan prosedur yang ditetapkan. Namun demikian cukuplah kiranya GPIB tercoreng pada kasus di Surabaya yang telah memasyarakat secara nasional. Hal tersebut bila disadari mungkin tak perlu terjadi. Kita tentu masih ingat tentang aset bermasalah seperti di Immanuel, Gereja Husada dan Pinisi Baru. Prosedur yang baru pada edisi revisi, memuat tentang peraturan penjualan aset gereja yang sangat rumit dalam mekanismenya. Namun pelepasan aset GPIB telah berlangsung sebelum aturan tersebut tersusun. Dan akan jadi tanggung jawab siapa bila ternyata jemaat yang merasakan??? |