utama | opini | liputan utama | liputan khusus | profil | intermezo | aktual | lintasan | surat pembaca

Profil

Pdt. Hendrik Ongirwalu MTh

GPIB sebagai "Gereja Pejabat" atau "Gereja Pendeta"

Menjelang siang, pertengahan bulan Juni, Pdt. Hendrik Ongirwalu tampaksangat sibuk. Namun dengan ramah pria kelahiran Larat, Maluku, 19 April 1944 menerima Warnes di ruang Pastori GPIB Effatha, tempat ia dan keluarganya tinggal. Ruangan tersebut tampak sederhana. Bahkan bisa dikatakan kontras dengan gedung gereja Effatha bila dilihat dari luar yang berkesan megah di tengah hiruk pikuk masyarakat Ibu Kota, tepatnya wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam perbincangan yang akrab dengannya, sebagai orang GPIB ia berkomentar tentang pertumbuhan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), yang mengalami kemajuannya sejak kurang lebih tahun 1948 hingga 1982, di mana konsep jemaat misioner yang dicanangkan oleh Pendeta Maitimu ketika itu sangat kental mewarnai kehidupan berjemaat. "GPIB berkembang sampai tahun '82 itu menemukan identitasnya sebagai gereja," katanya singkat.

Tetapi memasuki era 90-an, semuanya itu berangsur-angsur berubah. Gereja mulai terjebak untuk mengurusi aset-aset gereja dan meninggalkan pelayanan jemaat misioner tersebut secara konseptual. Beberapa kegiatan berjemaat saat itu menurutnya tidak mencerminkan konsep pengembangan jemaat misioner. Gereja menjadi sangat sibuk dengan urusan pembangunan aset-aset gereja. Dan sejak itu pula GPIB menjadi suatu lembaga yang lebih mengandalkan birokrasi ketimbang pelayanan, sehingga mengaburkan missi dan peranan GPIB sebagai suatu gereja.

Lebih jauh Bapak satu anak ini juga mengatakan tentang GPIB yang menurutnya sangat sulit untuk keluar dari dominasi peranan para pejabat gereja, sehingga GPIB sering disebut juga sebagai 'gereja pejabat' atau 'gereja pendeta.' "Jadi kekuasaan pada Pendeta! Dan Pendeta-Pendeta itu memakai Tata Gereja sebagai alat kekuasaan mengatur Gereja," ulasnya.

"Padahal kita lihat bahwa itu gereja harus melaksanakan missi Allah, bukan missi sendiri. Lalu dia memperhatikan umat sebagai satu persekutuan Roh itu harus ditumbuh kembangkan untuk berdiakonia, bermarturia…" katanya lagi menjelaskan apa yang selayaknya dilakukan GPIB. Menurutnya, sesuai dengan konsep jemaat misioner, maka peranan jemaat harus lebih ditonjolkan daripada peranan pendeta. Hal itu dimaksudkan supaya jemaat tidak 'kabur' dari gereja tempatnya bersekutu dan mencari peranannya masing-masing di tempat lain. "Karena merasa tidak di daya gunakan, mereka ke gereja lain yang lebih memberikan porsi kepada peranan warga itu," ungkapnya.

Kemudian untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pembinaan bagi warga jemaat guna peningkatan pemahaman jemaat mengenai pelayanan dan kesaksian. Ditambahkan, apabila kegiatan intern ditingkatkan, maka dengan sendirinya pelayanan tersebut akan meluas hingga ke masyarakat dan negara. "Berarti hadir memberikan teladan yang baik bagi masyarakat dan bangsa, tidak hanya di dalam saja," paparnya. Bila demikian maka tugas Pendeta adalah sebagai fasilitator dalam kegiatan-kegiatan gereja. Misalnya menghadirkan kehangatan dan cinta kasih Roh Kudus dalam persekutuan, dan juga keakraban dalam ibadah-ibadah. Dari penuturannya, ia juga tidak menutupi suatu kenyataan yang mengatakan bahwa persekutuan dalam GPIB selama ini berkesan kaku dan hanya formalitas saja, yang penyebabnya tidak lain adalah birokrasi yang terlalu ketat. Karena itu seorang pendeta dituntut untuk bisa mengolah ibadah-ibadah melalui liturgi yang akrab sehingga mendorong jemaat untuk ambil bagian dalam pelayanan. "Pelayanan tidak hanya menjadi Penatua dan Diaken, tetapi melayani dengan baik di tengah masyarakat," paparnya.

Menurutnya Majelis membantu Pen-deta dalam ibadah. Namun tugas utama seorang mereka adalah menata pembinaan jemaat sedemikian rupa sehingga jemaat benar-benar didaya gunakan dalam pelayanan. "Jadi fungsi Majelis itu tidak hanya datang rapat atau ibadah saja, tetapi berada di tengah-tengah jemaat untuk menggairahkan mereka," katanya. Tetapi kenyataan di lapangan belum menunjukkan aktivitas seperti itu. Secara umum ia menilai, pembinaan gereja terhadap Majelis hanya seputar keorganisasian belaka. Dan cenderung melalaikan tugas utamanya, yaitu membina Majelis supaya mereka mampu memberdayakan jemaat melalui berbagai ketrampilan, seperti memimpin Penelaahan Alkitab (PA), memimpin ibadah, memimpin diskusi dan bersama-sama jemaat menganalisa perkembangan-perkembangan dalam masyarakat, entah perkembangan ekonomi, politik dan lain sebagainya. Pembinaan tersebut dirasakan sangat penting mengingat Majelis berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

Semakin jauh perbincangan, ternyata masalah minimnya pembinaan juga melanda Gerakan Pemuda pada umumnya. Dikatakan, pembinaan bagi pemuda tidak hanya untuk mengurus kegiatan-kegiatan rutin seperti kebaktian, olah raga, Pesparawi dan lain sebagainya, karena semua kegiatan itu sebenarnya hanya kegiatan untuk konsolidasi. "Tetapi pembinaan dalam arti bagaimana menggerakkan jemaat untuk menjadi misioner," tegasnya tentang pembinaan yang diperlukan bagi pemuda. "Juga bagaimana mereka menciptakan kader untuk jemaat. BPK itu kan alat pembinaan saja. Dia menyiapkan kader untuk jemaat-jemaat. Jadi lewat latihan kepemimpinan dan pelayanan dan sebagainya," tambah mantan Sekretaris Dewan Pemuda GPIB diera tahun 1970-an ini. Menurut pendapatnya, program pembinaan untuk kader di GPIB tidak berjalan atau bahkan tidak di buat secara konseptual, sehingga otomatis menyebabkan kurangnya kaderisasi di GPIB. "Saya tidak tahu apakah pusat-pusat pembinaan GPIB yang dibentuk misalnya di Lawang, apakah punya program untuk membina pemuda-pemuda secara keseluruhan," tandas Pendeta yang saat ini tengah menyusun buku Sejarah Gerakan Pemuda GPIB.

Lebih lanjut Pendeta yang pernah melayani sebagai Asisten Sekretaris Gereja Protestan Indonesia (GPI) itu menerangkan bahwa pengadaan lembaga-lembaga pembinaan tersebut sebenarnya adalah tugas Sinodal, yang dibentuk di tiap Mupel karena tidak mungkin tiap jemaat mempunyai lembaga pembinaan sendiri-sendiri. Kemudian untuk bisa melaksanakan pembinaan dengan baik, yang pertama harus dilakukan adalah menginventarisasi atau mendata materi apa yang diperlukan oleh anggota jemaat yang akan di bina. Hal itu dikarenakan oleh latar belakang daerah atau budaya yang berbeda-beda sehingga menciptakan perbedaan kebutuhan. Misalnya pemuda desa dengan pemuda kota, yang pasti memerlukan materi pembinaan yang tidak sama. "Pembinaan itu memang harus dilaksanakan di jemaat, tapi bahan itu harus dibicarakan bersama," ulasnya, yang dimaksudkan agar pembinaan itu nantinya mencapai hasil maksimal.

Di luar pembicaraan tersebut di atas, ada baiknya kita mengetahui sedikit kisah hidupnya yang ternyata sangat menarik. Sambil tersenyum, ia mulai mengisahkan hidupnya yang penuh perjuangan. Bila ia kini aktif sebagai 'Pelayan Tuhan' maka dalam menjalani tugas panggilan tersebut ia selalu menghayatinya melalui pengalaman hidup sehari-hari. Dan di balik perjuangan hidup yang ia jalani sebagai anak desa, tersimpan penghayatan yang tinggi akan kehidupan para petani dan orang-orang miskin. Sungguh patut diteladani bila ternyata ia pun adalah seorang pribadi mandiri yang tidak pernah bergantung kepada orang lain. "Sejak dari SMP, SMA, Perguruan Tinggi, di STT juga tidak pernah bergantung. Jadi mencari sendiri," kisahnya. Ia masih sangat muda, tetapi ia sudah terbiasa untuk mencari biaya hidup sendiri. Salah satu pengalamannya adalah melakoni pekerjaan buruh kasar menggali selokan untuk galian PAM, bahkan angkat batu. Berkat keuletan dan ketekunanya itu, tidak heran jika ada saja orang yang mungkin menaruh simpati dan membantunya hingga selesai sekolahnya.

Kini ia telah mengabdikan dirinya menjadi Hamba Tuhan. Berbicara mengenai hal tersebut, ia mengatakan bahwa sejak kecil ia tidak pernah merencanakan hidupnya untuk menjadi seorang Pendeta. Alur hidup berjalan sebagaimana mestinya. Hingga ketika SMA di Ambon, seorang kawannya menyarankan agar ia ikut test beasiswa dari STT Jakarta. Ia mengikuti saran tersebut, ternyata ia beserta tiga rekannya lolos test dan berhak atas beasiswa tersebut. "Jadi kami terima beasiswa penuh. lalu tinggal kebutuhan pakaian dan sebagainya itu, ya melayani saja untuk jemaat," ungkapnya. Itulah kisahnya, ia mendapat beasiswa dari Amerika untuk sekolah di STT, namun ia masih harus berjuang untuk bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari.

Semester awal di STT, sekitar tahun 1965 ia mengaktifkan diri sebagai pelayan Sekolah Minggu di GPIB Eben Haezer. Saat itulah ia berjumpa dengan rekan sepelayanan bernama Vera yang kini telah menjadi istri dan memberinya seorang putra. Menurut penuturannya kepada Warnes, masa pacaran dua sejoli itu berjalan apa adanya. Ia bahkan sama sekali tidak menganggap adanya sesuatu yang istimewa dengan masa indah mereka. Malah ia berkomentar bahwa keistimewaan masa pacaran sangat sulit diucapkan dengan kata-kata, karena bila dikatakan juga, maka hanya berkesan mencari-cari alasan. "Boleh dikata juga Tuhan pertemukan, tapi itukan daya tarik masing-masing toh. Yang penting, yang terutama ada komunikasi berpikir, komunikasi diskusi..." ujar ayah dari Rein Abram, berdalih.

Pertemuan dua sejoli di gereja yang kemudian memutuskan untuk menikah, bila diamati sering kali terjadi. Menanggapi hal itu, ia berujar bahwa tidak akan menjadi masalah sepanjang mereka tidak melupakan tugas utama mereka, yaitu pelayanan. "Artinya pertemuan di gereja, pelayanan mempertemukan kita lalu kita membangun pelayanan bersama. Disitulah kita juga saling berbagi cinta kan," paparnya. "Mencari teman itu silahkan di pelayanan, tapi kita melayani terus sampai sekarang kan," tambahnya. Meskipun demikian ia tidak mengangap gereja sebagai ajang cari jodoh belaka, karena meskipun di satu sisi mereka mungkin menjalin hubungan asmara, tapi di sisi lain lagi mereka juga membangun suatu persekutuan jemaat yang akrab dan penuh kehangatan. Sehingga tidak menjadi soal jika laki-laki dan perempuan bertemu di gereja dan kemudian memutuskan untuk berkeluarga. "Tapi bukan berarti cinta kasih itu jadi kepentingan pribadi, menunggangi kepentingan jemaat," tegasnya.

Tak terasa percakapan Warnes dengannya telah berlangsung kurang lebih satu jam. Sementara di ruangan lain, wartawan sebuah majalah Ibukota sedang menuggu gilirannya untuk wawancara dengan Pendeta yang masa tugasnya di Effatha diperpanjang karena terhalang oleh aset gereja bermasalah

 

[ ke-atas ]